Badai Seukuran Katrina Lebih Sering Muncul di Masa Depan
Oleh Becky Oskin, Staf Penulis OurAmazingPlanet | LiveScience.com
Badai Sandy yang menyerang kota New York tahun lalu dianggap sebagai serangan badai terburuk yang pernah menghantam kota itu. Meski badai Sandy dianggap sebagai peristiwa 100 tahun sekali, sebuah penelitian menemukan bahwa pemanasan global juga bisa membawa dampak kehancuran yang sama seperti serangan badai di daerah teluk dan pesisir timur AS setiap tahun sebelum tahun 2100.
Badai Sandy yang menyerang kota New York tahun lalu dianggap sebagai serangan badai terburuk yang pernah menghantam kota itu. Meski badai Sandy dianggap sebagai peristiwa 100 tahun sekali, sebuah penelitian menemukan bahwa pemanasan global juga bisa membawa dampak kehancuran yang sama seperti serangan badai di daerah teluk dan pesisir timur AS setiap tahun sebelum tahun 2100.
Badai besar bisa memicu ombak tinggi dan gelombang badai, yang bisa mengikis pantai dan bukit pasir serta membanjiri pemukiman di pesisir. Gelombang badai adalah air laut yang terdorong badai, terutama oleh angin kencang. Di pesisir, gelombang tersebut bisa naik setinggi beberapa meter hanya dalam beberapa menit. Ombak tinggi berjalan di atas gelombang badai dan puncak ombak bahkan bisa menaikkan permukaan laut lebih tinggi lagi.
Menilik kejadian ekstrem tersebut, badai baru seukuran Katrina diprediksi akan terus terjadi setiap tahun jika suhu iklim naik 2 derajat Celsius.
Itu berarti 10 kali lebih sering dibandingkan apa yang terjadi di 1923, setelah terjadinya badai Katrina yang menghantam setiap 20 tahun, seperti yang dipublikasikan dalam “Journal Proceedings of the National Academy of Sciences” edisi 18 Maret.
Pada tahun 2009, bangsa-bangsa di dunia sepakat membatasi perubahan iklim sampai 2 derajat Celsius pada 2100, namun penelitian terbaru menunjukkan bahwa suhu bisa naik menjadi 4 derajat Celsius sebelum akhir abad ini.
Namun peningkatan 10 kali lipat gelombang seperti badai Katrina tidak lantas dianggap bahwa bencana akan meningkat 10 kali lipat, kata Aslak Grinsted, ilmuwan iklim di University of Copenhagen, Denmark sekaligus penulis penelitian. “Setiap gelombang Katrina tidak selalu menjadi bencana besar Katrina,” katanya kepada OurAmazingPlanet.
Air laut yang lebih hangat memicu badai yang lebih dahsyat
Lautan yang lebih hangat akan mengubah bagaimana samudera Atlantik memicu badai. Lebih panas berarti lebih banyak energi, dan banyak model pemanasan memprediksi bahwa pemanasan global akan memicu badai yang lebih besar dan dahsyat, meski rincian skenarionya berbeda.
Banyak penelitian mengamati perubahan frekuensi dan ukuran badai akibat pemanasan global namun baru sedikit penelitian yang mengamati dampaknya di pesisir Atlantik.
Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai model mana yang dapat memperkirakan masa depan, Grinsted dan rekannya mengkonstruksi catatan gelombang badai dari tingkat air pasang laut di sepanjang pesisir Atlantik di sepanjang samudera Atlantik.
Grinsted mengukur setiap model statistik menurut seberapa baik model tersebut menjelaskan gelombang ekstrem masa lalu. Satu cara para ilmuwan menguji model-model iklim itu adalah dengan melihat seberapa baiknya model-model tersebut memprediksi cuaca di masa lalu.
Setelah membandingkan model-modelnya, model terbaik adalah salah satu model yang paling sederhana. Itu bergantung pada temperatur permukaan air di suatu wilayah di area munculnya badai di samudera Atlantik.
Para ilmuwan juga membuat sebuah model “kisi” global, yang mengabungkan suhu lautan di seluruh dunia. Grinsted mengatakan bahwa model-model teratas sepakat bahwa besarnya dari serangan badai, membuatnya yakin terhadap hasilnya.
Naiknya suhu 0,4 derajat Celsius berpengaruh terhadap frekuensi gelombang badai, seperti yang ditemukan dalam penelitiannya. “Dengan pemanasan global yang terjadi selama abad ke-20, kami telah melewati ambang batas karena lebih dari setengah Katrina terjadi akibat pemanasan global,” kata Grinsted.
Sumber:
Komentar
Posting Komentar