Mayday, Buruh Perempuan Tuntut Kesetaraan
Sejumlah buruh perempuan yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Mandiri dan Serikat Pekerja Bango melakukan aksi memperingati Hari Perempuan Sedunia di depan Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat. Jumat (8/3). Dalam aksinya mereka menuntut hentikan diskriminasi terhadap pekerja perempuan termasuk persamaan hak di tempat kerja. TEMPO/Aditya Herlambang Putra
TEMPO.CO, Jakarta - Komite Aksi Perempuan, sebuah aliansi beberapa organisasi advokasi perempuan, menilai tahun ini merupakan puncak dari serangkaian perlakuan tak berperikemanusiaan yang menimpa buruh perempuan.
Sejumlah kasus menunjukkan bagaimana buruh perempuan mengalami diskriminasi dalam pekerjaannya, mendapatkan perlakuan kekerasan seksual yang berakibat secara psikis, yang semua ujungnya pada pemiskinan perempuan."Kami mendata kasus-kasus ini sebagai catatan hitam buruh perempuan di Indonesia," kata salahsatu aktivis komite, Dina Ardiyanti, Rabu 1 Mei 2013. Kisah Omih, seorang buruh perempuan di Tangerang yang harus dipenjara karena mempertahankan haknya dalam bekerja, adalah salahsatu kasus yang menonjol dalam catatan komite. Omih, kemudian juga harus kehilangan anaknya.
Selain itu, ada juga kasus kekerasan yang menimpa jurnalis. Nurmala Sari Wahyuni, wartawan di Kalimantan mendapat kekerasan dari orang tak dikenal ketika melakukan peliputan. Nurmala kemudian harus kehilangan bayi yang dikandungnya.
Kasus lainnya menimpa Satinah, perempuan buruh migran asal Ungaran, Jawa Tengah yang dieksekusi pancung. "Ini terjadi karena Pemerintah RI tidak melakukan advokasi pada Satinah," kata Dina. Kasus Satinah juga menambah data 420 buruh migran yang terancam hukuman mati dan 99 lainnya yang sudah dieksekusi. Sejumlah buruh migran perempuan lainnya yang bekerja di luar negeri juga menjadi korban perdagangan manusia.
Ada juga seorang buruh perempuan di Jawa Barat yang dipecat oleh manajemen perusahaannya karena jujur menyatakan statusnya yang terkena HIV/AIDS. Yang juga menonjol adalah kasus diskriminasi para Pekerja Rumah Tangga Anak yang hampir semuanya adalah perempuan. Para PRT Anak ini harus bekerja selama 14-18 jam sehari, bekerja lebih dari satu pekerjaan, diupah murah, dan tidak pernah diberikan libur maupun cuti. "Mereka kehilangan waktu sosial mereka," kata Dina.
Para buruh perempuan yang bangkit dan memperjuangkan haknya, tak lepas dari tekanan. Sri, seorang buruh di Cakung, Jakarta Utara, juga Yohana Sudarsono, seorang guru di Stella Maris Serpong, Tangerang, mengalami intimidasi setelah dipecat. Kasus lainnya menimpa Luviana, jurnalis perempuan di Metro TV. Para buruh perempuan ini tidak hanya kehilangan pekerjaannya, namun juga tidak diupah dan kehilangan akses sebagai pencari nafkah keluarga.
Situasi ini memburuk karena buruh perempuan juga sulit mendapatkan posisi sebagai pemimpin organisasi Serikat Pekerja. Di kalangan media, juga tak banyak pemimpin perempuan. Hanya sekitar 5% jurnalis perempuan yang menjadi pemimpin di medianya.
Untuk itu, Komite Aksi Perempuan mendesak semua catatan hitam ini dihentikan. "Pengusaha dan majikan harus memberikan perlindungan kerja terhadap para buruh perempuan," kata Dina. Selain itu, pemerintah juga didesak untuk tidak membiarkan pelanggaran-pelanggaran, kekerasan, dan diskriminasi atas buruh perempuan.
Sumber:
Komentar
Posting Komentar