sampai menikah dan meninggal dunia dan lain-lain. Hal ini dianggap oleh banyak pihak sebagai perlakuan diskriminatif dan sejak Orde Reformasi telah dihapuskan, walaupun dalam praktiknya masih diterapkan di berbagai daerah.
Kronologi
1946 - Indonesia pada tahun 1946 telah jelas
mengundangkan bahwa Indonesia menganut azas ius soli. Siapa saja
yang lahir di Indonesia adalah warga negara Indonesia. Dengan demikian, secara otomatis,
orang Tionghoa yang ada di Indonesia sejak Proklamasi 1945 adalah WNI suku Tionghoa.
1949 - Belanda mengharuskan Indonesia mendasarkan
peraturan kewarganegaraannya ke zaman kolonial bila ingin mendapat pengakuan
kedaulatan dari Belanda. Orang Tionghoa di Indonesia kembali diharuskan memilih
ingin jadi WNI atau tidak.
1955 - Perjanjian Dwi Kewarganegaraan antara RRC
dan Indonesia ditandatangani. Karena ada klaim dari Mao Zedong bahwa RRC
menganut azas ius sanguinis, siapa yang
lahir membawa marga Tionghoa (keturunan dari laki-laki Tionghoa) maka ia
otomatis menjadi warga negara Tiongkok. (Hal ini merupakan alasan politik untuk
menggalang dukungan dari kalangan Tionghoa perantauan seperti yang dilakukan
oleh ROC Taiwan (nasionalis)). Di KAA Bandung, Zhou Enlai menyatakan
bahwa keturunan Tionghoa di Indonesia berutang kesetiaan pada negara leluhur.
Mao di satu pihak meluncurkan kebijakan ini, namun di lain pihak merasa
keturunan Tionghoa di luar negeri adalah masih memihak kepada ROC yang
nasionalis.
1958 - Perjanjian dituangkan dalam UU, menegaskan
bahwa orang Tionghoa di Indonesia kembali diperbolehkan memilih kewarganegaraan
Tiongkok atau Indonesia. Batas waktu pemilihan sampai pada tahun 1962. Yang
memilih menjadi WNI tunggal harus menyatakan diri melepaskan kewarganegaraan
Tiongkok.
1969 - Perjanjian Dwi Kewarganegaraan dibatalkan. Yang
memegang surat pernyataan Dwi Kewarganegaraan menjadi stateless (tidak
memiliki kewarganegaraan) bila tidak menyatakan keinginan menjadi WNI.
1978 - Peraturan Menteri Kehakiman mewajibkan SBKRI
bagi warga Tionghoa.
1983 - Keputusan Menteri Kehakiman , menegaskan bahwa
SBKRI hanya wajib bagi mereka yang mengambil surat pernyataan Dwi
Kewarganegaraan lalu menyatakan keinginan menjadi WNI. Jadi bagi WNI tunggal
dan keturunannya (yang telah menyatakan menjadi WNI tunggal sebelum tahun 1962
dan yang keturunan mereka, serta semua orang Tionghoa yang lahir setelah tahun
1962) tidak diperlukan SBKRI.
1992 - Keputusan Menteri Kehakiman , menegaskan bahwa
anak2 keturunan dari orang Tionghoa pemegang SBKRI cukup menyertakan SBKRI orang
tua sebagai bukti mereka adalah WNI.
1996 - Penyertaan SBKRI tidak diberlakukan lagi atas
Keputusan Presiden. Namun tidak banyak yang tahu karena kurangnya sosialisasi.
era
Reformasi
1999 - Keputusan Presiden tahun 1996 itu diperkuat
sekali lagi dengan Instruksi Presiden tahun 1999.
Perkembangan terakhir
Pada tanggal 8 Juli 1996, Presiden Soeharto
mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 56 Tahun 1996 tentang Bukti
Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Di pasal 4 butir 2 berbunyi, "Bagi warga
negara Republik Indonesia yang telah memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP), atau
Kartu Keluarga (KK), atau Akte Kelahiran, pemenuhan kebutuhan persyaratan untuk
kepentingan tertentu tersebut cukup menggunakan Kartu Tanda Penduduk, atau
Kartu Keluarga (KK), atau Akte Kelahiran tersebut."
Sedangkan pasal 5 berbunyi, "Dengan berlakunya
Keputusan Presiden ini, maka segala peraturan perundang-undangan yang untuk
kepentingan tertentu mempersyaratkan SBKRI, dinyatakan tidak berlaku lagi."
Pada 1999, dikeluarkan Instruksi Presiden No
4/1999 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden No 56/1996 yang menginstruksikan
tidak berlakunya SBKRI bagi etnis Tionghoa yang sudah menjadi WNI.
Namun sebenarnya, praktik persyaratan SBKRI masih
tetap ada di birokrasi pemerintahan karena kurangnya sosialisasi pemberlakuan
Keppres ini dan juga karena lemahnya sistem hukum Indonesia yang menyebabkan
peraturan perundang-undangan dapat begitu saja diabaikan.
Sumber:
(
)
Sumber:
(
)
Komentar
Posting Komentar